REFLEKSI NEGERI SETELAH 26 TAHUN REFORMASI


Guys, apa yang kalian semua pikirkan ketika mendengar kata "reformasi"? Kalau gue langsung kebayang peristiwa penting dalam sejarah bangsa kita yang terjadi 26 tahun silam. Mungkin nyaris semua Gen Z sulit membayangkannya karena saat peristiwa itu terjadi, Gen Z tertua baru berusia 1 tahun. Jadi, gue amat sangat maklum dengan ketidaktahuan mereka selain dari buku-buku (jika suka membaca buku) atau sekelebat info dari siniar-siniar YouTube yang sering kali kurang ngasih insight yang dibutuhkan dan mengedukasi karena malah lebih banyak bahas soal konspirasinya dibanding esensi penting yang dibawa oleh para pejuang reformasi di masa tersebut.

By the way, hari ini tanggal 21 Mei yang mana merupakan Hari Peringatan Reformasi Nasional. Penetapan hari tersebut sesuai dengan peristiwa di mana Jenderal Soeharto akhirnya menyatakan mundur dari jabatannya sebagai presiden RI yang ke-2 setelah dilakukan aksi demonstrasi mahasiswa besar-besaran yang berakhir ricuh dan anarkis di gedung MPR RI. Namun, di tulisan ini gue enggak mau bahas soal kontroversi ataupun konspirasinya. Kalau itu yang sedang kalian cari, udah banyak banget kok public figure, selebtok, selebgram, dan youtuber yang membahas hal ini.

Sudah 26 tahun berlalu, peristiwa itu masih meninggalkan bekas yang mendalam di ingatan mereka yang menjadi saksi langsung. Namun, biasanya yang paling diingat hanyalah adegan anarkis dan tindak laku biadab orang pribumi terhadap etnis Tionghoa di masa itu yang seolah-olah memanfaatkan kericuhan yang ada untuk melampiaskan sentimen pribadinya. Entah ada berapa banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada saat itu. Suatu hal yang begitu keji dan benar-benar merusak citra para mahasiswa pejuang reformasi. Apa dampaknya? Dampak negatifnya bisa dilihat hingga kini, ketika ada mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi di pinggir jalan atas nama rakyat, sebagian besar rakyat justru mencemooh dan menganggap aksi demo tersebut sebagai tindakan bodoh, membuat macet, dan tidak penting. Mahasiswa disuruh fokus belajar saja dan seolah-olah dilarang untuk bersikap kritis dalam mengisi sistem pemerintahan yang demokratis ini. Gimana ya rasanya berjuang membela kepentingan rakyat, tapi yang dibela justru merendahkan mereka?

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang menurut gue harus diluruskan karena tidak etis rasanya jika kita menganulir begitu saja niat baik mahasiswa hanya karena terdapat serangkaian kejadian buruk di masa lalu yang menyelubungi tanpa kita tahu apakah sebenarnya serangkaian kejadian buruk itu benar-benar berkaitan dengan aksi yang dilakukan para mahasiswa atau tidak. Namun, karena jika membahas sisi ini lebih dalam malah bakal membahas soal konspirasi di balik Reformasi 1998, gue bakal skip dan fokus membahas sisi para pejuang reformasinya saja.

Pertama adalah makna dari kata "reformasi" itu sendiri. Jika melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "reformasi" memiliki arti "perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara". Artinya, aksi demo besar-besaran mahasiswa saat itu menuntut reformasi disebabkan oleh suatu keadaan di mana mereka merasa perubahan secara drastis dan cepat demi perbaikan negara adalah hal yang urgent untuk dilakukan.

Seperti ungkapan tidak ada asap kalau tidak ada api, aksi mahasiswa pastinya didorong oleh suatu keadaan yang membuat mereka merasa harus banget terjun ke jalan menyuarakan reformasi, tidak bisa tidak karena dianggap akan berbahaya untuk bangsa jika terus-menerus dibiarkan.

Seperti yang kita tahu bahwa Soeharto adalah seorang otoritarian yang telah duduk di bangku presiden selama 32 tahun. Selama masa jabatannya itu, di antara rakyat pasti ada yang menyanjungnya dan ada juga yang membencinya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Soeharto memiliki concern yang baik terhadap pembangunan di negara kita dan berupaya menyejahterakan petani. Oleh karena itu, beliau kerap diberi julukan Bapak Pembangunan. Coba tanya Kakek dan Nenek kita yang masih hidup dan pernah merasakan langsung kehidupan di bawah kepemimpinan Soeharto, setidaknya di era 1970-an ke atas. Pasti banyak dari mereka yang merasakan kesejahteraan, tidak banyak pikiran, dan lebih mudah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena biayanya tergolong murah.

Namun, sisi positif Soeharto dibarengi juga dengan banyak sisi negatifnya. Sebagai seorang otoritarian, Soeharto dianggap memperoleh keuntungan besar-besaran lewat koneksi politik yang dimilikinya, sementara masih banyak rakyat Indonesia yang berada di garis kemiskinan. Dugaan korupsi dan nepotisme demi menyejahterakan keluarganya banyak merebak di tengah masyarakat. Hal negatif lainnya adalah tidak adanya kebebasan rakyat untuk berbicara. Kritik terhadap beliau dapat berujung pada kejadian yang menakutkan. Banyak dugaan pelanggaran HAM dialamatkan kepada Soeharto dalam upayanya membungkam rakyat yang bersuara lantang.

Krisis moneter Asia 1997 menjadi pemicu memuncaknya kekecewaan rakyat terhadap rezim Soeharto. Para mahasiswa memandang Soeharto telah gagal dan kehabisan ide solutif untuk mempertahankan kekuatan ekonomi negara. Krisis moneter mengejutkan sebagian besar rakyat karena lonjakan harga-harga kebutuhan hidup. Sementara itu, Soeharto dan keluarganya masih terlihat sejahtera saja dengan gelimangan harta yang diduga sebagai hasil dari korupsi dan nepotisme, pemanfaatan jabatan yang tidak semestinya.

Nah, itulah yang pada akhirnya memicu gerakan mahasiswa ke gedung MPR, menyuarakan aspirasi untuk melengserkan Soeharto yang dianggap tidak becus dalam mencari jalan keluar dari masalah krisis moneter dan karena dugaan korupsi yang begitu besar. Dugaan makin kuat karena memang Soeharto tidak transparan dalam hal pengelolaan keuangan negara. Ada beberapa hal yang harus digarisbawahi soal demonstrasi mahasiswa di gedung MPR saat itu.

Tujuan Reformasi

Tujuan gerakan reformasi adalah untuk mengakhiri rezim Soeharto yang otoriter dan membawa negara menuju demokrasi yang lebih terbuka dan partisipatif terhadap rakyat. Pada era Soeharto, memang tetap ada Pemilu, tapi Pemilu yang dibuat sebagai bentuk formalitas semata karena Soeharto mewajibkan seluruh pegawai negeri untuk mencoblos Partai Golkar atau terancam diberi sanksi. Saat itu hanya ada tiga partai politik, yaitu Partai Golkar, PPP, dan PDI. Partai Golkar adalah partai terbesar pro-Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Hasil Pemilu legislatif membuat kursi dewan dipenuhi orang-orang Partai Golkar yang akan senantiasa mendukung Soeharto dan menjamin posisinya untuk terus menjadi presiden lewat pemilihan yang ditentukan oleh MPR.

Tujuan lainnya dari gerakan reformasi adalah untuk menghentikan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela di pemerintahan dan mendorong perlindungan HAM. Para mahasiswa meyakini bahwa negara kita akan jauh lebih baik dan kuat jika dipimpin oleh presiden yang bersih dan transparan dalam setiap pengambilan keputusannya. Terakhir, gerakan reformasi ini dimaksudkan untuk menciptakan kesempatan yang adil dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, dan politik.

Gerakan Reformasi Awalnya Berlangsung Aman, Damai, dan Kondusif

Demonstrasi mahasiswa yang masif secara jumlah itu awalnya berlangsung dengan damai dan kondusif. Mereka berkumpul di depan gedung MPR sembari mengangkat spanduk, meneriakkan yel-yel, dan berorasi dengan cukup tertib sehingga mustahil rasanya jika berubah begitu saja menjadi demonstrasi yang anarkis dan berdarah-darah tanpa adanya provokator. Mahasiswa berharap perwakilan dewan mau duduk bersama mereka untuk berdialog dan mencari jalan keluar bersama-sama soal krisis moneter yang terjadi. Hanya saja, keinginan mahasiswa sudah sangat bulat untuk menurunkan Soeharto dari jabatannya karena dianggap sudah tidak mampu.

Gue pribadi amat sangat menyayangkan dengan adanya catatan merah dalam sejarah bangsa terkait gerakan reformasi yang diwarnai aksi anarkis, peristiwa berdarah, hingga kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum-oknum yang masih belum jelas identitasnya. Rasa belasungkawa yang begitu dalam gue sampaikan teruntuk para korban dan keluarganya. Setidaknya, gue meyakini bahwa para aktivis reformasi tidak ada kaitannya secara langsung dengan isu-isu tersebut. Mereka menyuarakan perlindungan HAM terhadap rakyat dalam aksi demonya, tidak mungkin mereka melakukan hal yang justru kebalikan dari apa yang mereka perjuangkan. Aksi mahasiswa saat itu benar-benar dimanfaatkan oleh seorang mastermind agar terlihat buruk di mata rakyat.

Pada akhirnya, gerakan reformasi memang berhasil membawa dampak yang signifikan terhadap negara. Turunnya Soeharto menjadikan negara berubah total dengan konsep demokrasi yang lebih terbuka. Namun, apakah cita-cita reformasi pada saat itu sudah tercapai?

Setelah 26 tahun berlalu, gue merasa cita-cita reformasi belum sepenuhnya tercapai, bahkan secara objektif gue sampaikan bahwa keadaan negara kita saat ini justru nyaris tak ada bedanya dengan rezim Soeharto menjelang akhir masa jabatannya waktu itu. Korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap terjadi dan merajalela. Tidak hanya di lingkungan pemerintah pusat, tapi merambat hingga ke pemerintah daerah dan desa-desa. Besaran uang rakyat yang dikorupsi setiap oknum pun dalam jumlah yang benar-benar fantastis.

Saat ini kebebasan berbicara berada pada level setengah aman. Adanya UU ITE dengan beberapa pasal karetnya bisa dengan bebas dipakai siapa saja untuk membungkam siapa saja dengan alasan pencemaran nama baik. Ruang kritik di masyarakat lingkup kecil mungkin tidak menjadi masalah, tapi ketika viral, siapa pun dapat dibui atau sekadar disomasi untuk kemudian membuat klarifikasi dan sebagainya.

Kalian juga bisa melihat bagaimana sekarang ini jabatan-jabatan strategis pemerintah pusat dan daerah benar-benar hanya diisi oleh orang-orang terdekat dan bahkan anggota keluarga dari presiden yang tengah menjabat. Bagaimana praktik jilat-menjilat demi jabatan makin marak dilakukan secara terang-terangan dan mereka bangga dengan hal itu.

Gue juga merasakan bagaimana media konvensional saat ini yang kebetulan banyak dimiliki oleh politisi pro-rezim menjadikannya sebagai alat propaganda pemerintah untuk mencuci otak rakyat dengan narasi-narasi positif yang menutupi kebobrokan di baliknya.

Masih banyak lagi hal yang gue pandang sebagai bentuk kemunduran negara dari sisi sosial, ekonomi, dan politik. Berbagai pembangunan megaproyek dilakukan untuk melenakan rakyat seolah-olah negara ini telah benar-benar maju dan berkembang pesat, tapi dengan nilai utang yang tak terkira bakal mampu untuk dilunasi.

Begitu banyak nyawa dikorbankan dalam aksi reformasi 1998. Kemudian sekadar refleksi negeri setelah 26 tahun reformasi, apakah semuanya hanyalah kesia-siaan belaka? Menurunkan rezim yang dianggap bahaya hanya untuk membuat diri terjebak dalam rezim baru yang jauh lebih parah. Mungkin sudah saatnya rakyat kembali berbenah dan menyadari bahwa negara kita saat ini sedang tidak baik-baik saja.

No comments

Terima kasih banyak kepada kalian yang sudah setia mengunjungi blog Creative Talks dan membaca tulisan ini hingga tuntas. Silakan tinggalkan komentar dalam bentuk apa pun sambil tetap menjaga etika sesuai norma umum yang berlaku.

Powered by Blogger.